Manajemen Ekspektasi

Mengapa orang sering stes ketika yang diharapkan tidak tercapai? Yang diangankan tidak terwujud? Salah satu sebabnya adalah manajemen ekspektasi, manajemen harapan, yang tidak tepat. Ada orang yang terlalu panjang angan-angan. Ada juga yang terlalu bersemangat tanpa tahu kapasitas.

Ekspektasi kalau tidak dikelola dengan baik seringkali memunculkan kekecewaan-kekecewaan. Tentu saja tidak berarti kita tidak boleh berharap. Namun, harapan haruslah dikelola dengan baik. Anak kecil yang belum pandai, bisa jadi berharap mendapatkan sepeda motor yang bagus untuk jalan-jalan, misalnya. Tidak salah. Tetapi kalau keluarganya sedang diuji tidak mempunyai uang untuk memenuhi kebutuhan anaknya, padahal anaknya memintanya saiko-saiki alias harus segera, maka sangat mungkin baik si anak maupun si bapak menjadi stres. Si bapak yang sebetulnya sangat sayang dengan anaknya merasa tidak dapat membahagiakan anaknya. Bagaimana ekspektasi dikelola? Si anak misalnya dapat menunda keinginannya dalam beberapa bulan ke depan.

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali tanpa disadari kita agak kurang tepat dalam manajemen ekspektasi. Seorang bapak menginginkan anaknya yang sedang SD harus bisa banyak hal. Harus menjadi anak super. Seorang dosen mengharap semua mahasiswa menjadi mahasiswa super. Atau, seorang suami/istri menginginkan pasangan yang super tanpa cela. Jelas, harapan-harapan ini kalau tidak dikelola dengan baik akan berpotensi menimbulkan masalah.

Tidak jarang kita dituntut untuk bisa memahami kekurangan. Dituntut untuk mencari sisi positif dari sesuatu yang nampaknya negatif. Dalam bahasa lain, perlu reframing, menggunakan kacamata lain. Kacamata lain yang lebih sensitif terhadap sinyal-sinyal positif. Dengan demikian, kita akan lebih mudah mensyukuri nikmat, sekecil apapun itu.

Cerita tentang karpet berikut yang saya dapatkan dengan milis mungkin dapat menjadi inspirasi.

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki.Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan, dan kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapi, bersih, dan teratur dan suami serta anak-anaknya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yang pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya.

Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum, dan berkata kepada sang ibu, “Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan”.

Ibu itu kemudian menutup matanya.

“Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?” lanjut Satir. Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yang murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan, “Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi”.

Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.

“Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu dan kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu”.

Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tersebut.

“Sekarang bukalah mata ibu,” pinta Satir. Ibu itu membuka matanya. “Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?”

Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Aku tahu maksud anda,” ujar sang ibu. “Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif”.

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah.

Teknik yang dipakai satir di atas disebut reframing, yaitu bagaimana kita ‘membingkai ulang’ sudut pandang kita sehingga sesuatu yang tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.

Berikut adalah beberapa contoh pengubahan sudut pandang.

Saya bersyukur

1. Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain

2. Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.

3. Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan.

4. Untuk tagihan pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja dan digaji tinggi.

5. Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman.

6. Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan.

7. Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras.

8. Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat.

9. Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup.

4 comments
  1. Mike said:

    Just passing by.Btw, your website have great content!

    _________________________________
    Making Money $150 An Hour

  2. Agus said:

    Assalam’mualaikum wr.wb. Perkenalkan saya agus Lulusan AMIK BSI Ingin bergabung di Perguruan Cikini Dengan itu saya lampirkan lamaran ke e-mail dirdaspercik@indo.net.id. wslm.wr.wb.

    Sumber lowongan dari kampus WEB BSI.

    Terimakasih

  3. Nurul Azky said:

    TOP deh tulisannya, palagi saya juga sedang bergulat dengan ekspektasi yang tidak terwujud. Oiya…perkenalkan saya Azki…nanti kita akan ketemu sih di Grun, karena saya serumah – dulu seranjang :-)) dengan Nurul.

    Saya memiliki ekspektasi yang besar terhadap orang2 terdekat saya, dan saya mendapati saya mudah sekali marah ketika harapan saya tidak terkabul. Mungkin kalau ekspektasi yang sama tidak saya dapatkan dari orang yang berbeda, maksudnya bukan orang terdekat saya, saya tidak akan gampang marah.

    Yang baru saja saya alami misalnya. Hari ini saya janjian dengan suami saya untuk chat. Tidak hanya dengan dia sih, tapi juga dengan Jingga anak kami. Waktu janjian kami tidak menentukan waktu. Bangun pagi saya telp tidak nyaut di 3 nomor yang ada, termasuk no rumah. Pikir saya…oo…..mungkin pada tidur siang. Saya berkesimpulan mungkin chatnya sore. Jam 4.30 WIB saya telp lagi. Lagi2 tidak ada yang nyaut. OK…mungkin lagi sholat atau mandi dll. Jam 5 saya telp HP suami saya…ternyata ada di bengkel mobil. Waah….saya langsung muntab. Apa siih susahnya kasih tau kalau dia mau chat malam? Ngga tau apa ditunggu-tunggu dari tadi. SMS tidak butuh waktu lama kan? Susah bagi saya untuk switch ke arah positif untuk satu hal ini. Saya tidak menemukan – atau paling tidak belum – alasan untuk merubahnya menjadi positif. Bagaimana caranya?

    Sorry yaa….jadi curhat hihihii

Leave a comment