Hidup dalam Harmoni

“Why do you so dare to fly Indonesian airplane?,” kata Firman ke penumpang  di sebelahnya dalam perjalanan dari Jakarta ke Singapura. Kok kamu berani-beraninya naik pesawat Indonesia. Pada saat itu, maskapai Indonesia, termasuk Garuda sedang dilarang terbang ke Eropa. Apa jawaban penumpang tersebut.

“Insya Allah, jika kita percaya, nothing happens,” jawabnya.

Eh, ternyata dia bisa berbahasa Indonesia. “Are you a moslem? You just said ‘insya Allah’.”

“No,” jawabnya.

Akhirnya Firman dan Pascal yang asli Perancis tersebut terlibat pembicaraan yang menarik dan cair selama perjalanan.

Tiba-tiba Pascal berkata. “What I love in Indonesia, is that you live in harmony, despite of your diversity .. ethniticies and religions, and many other things.”

***

Pikiran Firman kembali melayang ke fragmen pembicaraan singkatnya dengan Pascal beberapa tahun lalu. Perkembang mutakhir di tanah air, nampaknya jauh dari yang digambarkan Pascal.

***

Ingatan Firman melompat ke fragmen yang lain.

“Kok tidak ikut kampanye Pak,” tanya Firman ke seorang bapak yang asyik bekerja di sawah pada tahun 2009.

“Lah, ngopo Mas. Kampanye hanya bikin musuh. Saling menjelekkan, saling menghujat.”

“Kok bisa, Pak?”

“Coba njenengan lihat. Itu para kyai rela menjual agamanya dengan menafsirkan agama untuk kepentingan partai. Yang repot kan orang kecil kayak saya yang di bawah ini. Njur arep melu sopo?,” lanjut pak petani, tanpa mengharapkan jawaban dariku.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya Firman pun menjalankan perjalanan dengan keponakannya. Melihat kerbau-kerbau yang sedang dimandikan di sungai. Pemandangan yang sudah tidak disaksikan oleh Firman sejak meninggalkan kampungnya puluhan tahun lalu.

***

“Itulah Man, kita kayaknya kehilangan identitas kita sebagai bangsa,” sambut Ucok ketika Firman mencerikan fragmen di atas.

Ucok adalah kawan lama Firman yang sudah lama menetap di piggiran kota Paris. Mereka sedang menyeruput kopi di sebuah restoran kecil di pojok kota kecil Eglise du Pantin, daerah utara Paris. Firman sedang dalam mini vacation ke sana. Dia memilih menginap di Hotel Ibis, di kawasan ini. Tepat di samping hotel ada restoran Turki yang menjual makanan halal.

Tidak sulit menemukan orang-orang pendatang di daerah ini. Banyak sekali pendatang Aljazair di daerah yang terkesan agak semrawut ini.

Ucok dan Firman nampaknya sedang asyik membicarakan perkembangan terakhir di tanah air. Gerakan yang saling menegasikan kelompok lain. Di media sosial, beragam kampanye dilakukan oleh kedua kelompok. Diskusi panas pun tidak jarang menghiasi komentar pada banyak dinding Facebook.

“Apa ya yang mereka cari? Katanya mendukung perdamaian, tapi kok kesannya saling memaksakan pendapat ya?” lanjut Ucok.

“Mereka kayaknya, sudah merasa jadi Gusti Allah. Merasa punya hak menghakimi seseorang masuk surga dan neraka.”

“Yang mana?”

“Ya siapapun yang merasa bisa bisa menentukan masa depan orang lain di akhirat.”

“Lu masih percaya akhirat?”

“Hush ngawur kamu. Aku laporin baru tahu kamu.”

Tawa pun pecah di antara mereka. Itulah gaya diskusi mereka. Agak slengekan, kadang terkesan genit. Tapi jangan cepat-cepat mengambil kesimpulan. Mereka selalu skeptis untuk apapun. Bukan tidak percaya, tetapi untuk menimbulkan kesadaran baru yang lebih kuat.

Firman bahkan akhirnya bak filsof. Dia mengutip pendapat filsof Jerman, Immanuel Kant, tentang konsep aksi dan reaksinya untuk menjelaskan adanya akhirat. Akhirat adalah forum untuk memberikan reaksi atas aksi yang belum mendapatkan reaksi di dunia.

“Nampaknya gaya genit ini juga yang dipakai beberapa kawan di Jakarta?”

“Ya. Cuma sialnya, banyak orang yang tiba-tiba menuduh kafir ke kawan-kawan ini. Padahal mereka kenal tidak, berdiskusi dengannya tidak pernah.”

“Ya, mbok biarin saja. Gaya orang kan beda-beda. Gak usah saling mengkafirkan dan menghujat satu sama lain,” ungkap Firman sambil menyeruput kopi ekspresonya.

“Gak setuju. Ya biasa lah. Gak usah nyerang orangnya. Serang saja argumennya dengan santun.”

“Lho, kok yang sewot malah lu sih Man?”

Mereka pun tertawa bersama. Diskusi mereka pun berlanjut. Jalanan di Eglise du Pantin sudah terlihat orang-orang pulang kerja. Semakin banyak orang keluar masuk terowongan Metro bawah tanah di dekat restoran.

Firman melirik jam tangannya. Jarum pendek sudah menunjuk angka 4.

“Cok, aku ke Paris Noord dulu ya. Mau ketemuan sama Pascal.”

Firman pun bergegas bersama orang-orang yang sedang mengejar Metro jalur 5 yang menuju stasiun kereta di Paris Noord.

Kristiansand, 26 Februari 2012

*Cerpen ini fiktif. Kesamaan nama dan tempat hanya kebetulan belaka yang disengaja. 😉

1 comment

Leave a reply to petapemikiran Cancel reply